Diksi “menumpang” ini kemudian mendapat sorotan dari aktivis Pemerhati Taman Nasional Komodo, Marta Muslin Tulis. Ia mengecam pernyataan tersebut. Ia menilai pernyataan Maria Yuliana Rotok sangat menyakitkan perasaan masyarakat tiga desa di Manggarai Barat.
Menurut Ica Tulis, sapaan akrab Marta Muslin Tulis bahwa sesungguhnya masyarakat tetap membayar pajak selama ini dan tidak seperti yang dijelaskan oleh Yuliana Rotok.
Ia menjelaskan bahwa jika pernyataan Yuliana Rotok itu benar, maka seharusnya dia memberikan klarifikasi karena masyarakat selama ini ada yang sudah membayar pajak. Karena itu, atas bukti kwitansi pembayaran pajak oleh masyarakat dari tiga desa yang dia sebut numpang ditanah negara, Yuliana Rotok mesti memberikan klarifikasi.
“Kalau ada bukti bayar (dari masyarakat), lalu kepalanya bilang mereka (masyarakat) tidak perlu bayar pajaknya karena numpang, kemana uang yang mereka (sudah) bayar? Berartikan tidak tercatat toh, logikanya begitu,” ujarnya.
Menurut Ica, Yuliana Rotok mesti belajar sejarah tentang masyarakat 3 desa yang berada di dalam kawasan taman nasional komodo.
“Ibu Lelikan baru di Labuan Bajo. Dia juga harus baca sejarah. Negara ini belum ada, Masyarakat Pulau Komodo sudah ada duluan. Masuknya mereka (pemerintah) ke Taman Nasional Komodokan (TNK) itu atas persetujuan mereka (masyarakat 3 desa). Ibu Lely selama ini kurang update . Dia tidak bacalah,” ujarnya.
Ica Tulis meminta supaya ada pemeriksaan di bagian Badan Pendapatan Daerah. Hal ini ia sampaikan, karena masyarakat memegang bukti pembayaran pajak.
“Yang perlu diperiksa yah kantornya (Bapenda). Kemana pajak yang masih bayar (oleh masyarakat) di sana,” ujarnya.
Dikutip dari media Florespos.net, bahwa dalam memberikan keterangannya ke wartawan, Yuli menjelaskan bahwa negara menetapkan TNK sebagai kawasan konservasi. Sehingga warga yang menetap dalam kawasan tersebut tak dikenai PBB, karena tempat yang mereka tinggal adalah tanah negara, meski mereka sudah sekian lama bermukim di sana.
“Yang pasti mereka tidak kena PBB. Mereka tidak berhak untuk jadi pemilik lahan di dalam kawasan, kan? Itu kan milik negara, taman nasional. Ya, kalau itu milik negara, otomatis dia tidak kena PBB,” ujarnya.
Adapun tiga desa yang dimaksud yakni Desa Komodo di Pulau Komodo, Desa Papagarang di Pulau Papagarang, dan Desa Pasir Panjang di Pulau Rinca.
Selain Ica Tulis, Akbar Al Ayyub juga mengkritik pernyataan Leli Rotok.
Dalam cuitan diakun facebook miliknya, Akbar menilai pernyataan Leli Rotok itu lahir dari kurangnya baca jurnal dan kurangnya riser.
“Kurang baca Jurnal,kurang riset dan kurang memahami sejarah. ngomong yang penting. yang penting ngomong. Begini pejabat kita?,” ujarnya sebagaimana dikutip dari akun facebooknya Akbar Al Ayyub.
Akbar juga merilis catatan sejarah keberadan Pulau Komodo dan penduduknya.
• 1910-an – Pemerintah kolonial Belanda mulai mencatat keberadaan Pulau Komodo dan penduduknya.
• 1926 – Peneliti Belanda, Peter A. Ouwens, mendeskripsikan Varanus komodoensis (komodo) secara ilmiah.
• 1950-an–1960-an – Desa Komodo mulai dikenal sebagai kampung nelayan kecil dengan rumah-rumah panggung.
• 1980 – Resmi masuk wilayah Taman Nasional Komodo (TNK).
• 2000-an hingga kini – Desa Komodo menjadi desa wisata konservasi dengan fokus menjaga habitat satwa dan tradisi lokal.
“Sejak kapan negara ini memiliki tanah? Tahun berapa indonesia merdeka?,” ujarnya.